SINGASARI BERDIRI:
Ketajaman Memandang Irama Hidup
Tengah malam, Mpu Lohgawe duduk bersila. Tangannya bersedakap, matanya memejam, telinganya tak mendengar apapun, termasuk suara derik cengkerik dan belalang disekitar padepokannya. Hanya mata hatinya yang terusik perkataan Arok, salah satu siswanya pada suatu waktu.
"Bapa Guru Lohgawe, hamba sudah puluhan kali bertemu brahmana, namun para brahmana hanya mengecam, menyerapahi, mengutuk, kesemena-menaan pemerintahan Sri Baginda Kertajaya di Kediri. Namun Prabu Kertajaya semakin menggunakan kekuasaannya untuk menyingkirkan para brahmana yang dianggap tak sepaham. Banyak para brahmana yang keluar dari teritori Kediri. Bapa Guru Lohgawe, kalau hanya mengecam, menyumpah, mengutuk, suara para brahmana hanya dianggap sepi. Oleh karenanya, para brahmana segera meditasi memohon agar Hyang Ganesya meminjamkan kedua mantranya. Mantra Parasyu dan mantra Aksamala. Parasyu adalah bersimbul sebuah kapak tajam, sedangkan Aksamala bersimbul tasbih irama hidup. Kapak tajam untuk memotong ketumpulan. Tasbih irama hidup, yang senantiasa diputar, intropeksi, evaluasi terhadap perjalanan hidup dan kehidupan. Bapa Guru Lohgawe, sudah waktunya kekuasaan Sri Baginda Kertajaya yang sewenang-wenang kita potong dengan kapak Parasyu dan kita putar ulang, kita tata kembali dengan irama tasbih Aksamala".
Mpu Lohgawe membuka matanya, berdiri perlahan lantas dipandanginya sepuluh muridnya yang masih bersimpuh menunduk menunggu perintah sang guru. "Tantra, apakah Arok belum menghadap," tanya Mpu Lohgawe kepada salah satu muridnya.
"Belum Bapa Guru. Bukankah Bapa Guru Lohgawe mengutus Arok untuk menemui Mpu Gandring di Tarik".
"Ya. Seharusnya Arok sudah datang."
* * *
Sinar mentari sudah diufuk barat. Tiga pedati yang berisi upeti tidak bisa melanjutkan perjalanan karena jalan yang menuju kota raja Kediri terhalang batang-batang pohon dan batu-batu besar. Pimpinan prajurit pengawal pedati upeti memberi aba-aba kepada semua prajurit untuk berhati-hati. Namun dalam pada waktu itu juga puluhan orang-orang yang menutup mukanya berloncatan dari rerimbunan dengan mengacungkan senjatanya. Pertempuran tak bisa dihindarkan. Denting suara senjata, teriak-teriakan memekakkan telinga. Saling desak mendesak perkelahian antara prajurit Kediri dan gerombolan penyamun. Rupanya para penyamun adalah orang-orang terlatih dalam jurus-jurus silat yang mapan. Serangannya teratur dan tersistem dalam perkelahian kelompok. Akan tetapi, para prajurit Kediri juga sudah kenyang akan segala bentuk pertempuran. Tak seberapa lama prajurit Kediri sudah bisa menguasai keadaan. Beberapa penyamun tewas dan yang lainnya meloncat menjauh melarikan diri lewat lorong-lorong di kegelapan. Para prajurit juga tidak mengejarnya karena yang penting isi pedati masih utuh. Lantas setelah menyingkirkan batang pohon dan bebatuan yang menghalangi jalan, pimpinan prajurit memerintahkan melanjutkan perjalanan ke Kediri.
Peristiwa penyerangan prajurit pengawal upeti sering terjadi. Bahkan beberapa kali para prajurit tidak bisa mempertahankan pedati-pedati upeti.
Kejadian perampasan upeti semakin membuat marah Prabu Kertajaya. Maka diperkuatlah pengawalan upeti-upeti dari para demang, buyut, akuwu yang diwilayah imperium kerajaan Kediri.
* * *
Di balik bebatuan lereng gunung Arjuna, mengepul asap hitam membubung tinggi dari tumpukan dedaunan kering dan ranting yang dibakar. Satu orang yang membakar, sementara dua orang lagi memotong-motong batang pohon menjadi kecil-kecil dan ditaruh di atas daun-daun yang sudah terbakar. Semakin lama semakin meninggi kepulan asap hitam, sehingga terlihat dari bulak-bulak yang sangat jauh.
Beberapa orang yang sedang mandi di sungai pinggir hutan bergegas keluar dari sungai dan segera mengenakan pakaian, kemudian yang berperawakan gempal pendek berdesis,
"Ayo cepat, asap mengepul itu isyarat sandi memanggil kelompok kita dimanapun berada untuk berkumpul segera,"
"Ya kakang, Arok dan Tantra mungkin sudah disana," sahut yang tinggi kurus sembari menyelipkan dua pisau panjang dibalik bajunya.
"Jangan lupa bingkisan titipan Dyah Umang buat Arok dibawa.
"Ya kakang."
Hari sudah sore, beberapa rombongan kecil naik ke lereng bukit. Tak lama kemudian dua ekor kuda juga berhenti di rumah ujung desa. Lalu menitipkan kuda-kuda itu ke pemilik rumah dengan imbalan beberapa keping uang. Kedua orang pemilik kuda itupun naik ke lereng bukit. Dan beberapa kelompok orang lagi juga menuju ke lereng bukit.
Bukit itu semakin gelap. Seseorang duduk diatas batu besar. Api bakaran itu sudah dipadamkan. Udara dingin seakan masuk ke tulang. Lelaki yang duduk di atas batu besar itu berkata, "Mpu Gandring sudah menyanggupi pesanan senjata kita. Seluruh pande besi di desa Tarik, Klanting, Mojojajar, Jati Sumber serta desa-desa pende besi lainnya sudah sanggup atas permintaan Mpu Gandring. Kita pesan ribuan senjata. Pedang, panah, tombak, tameng, pisau panjang, pisau pendek, keris," papar orang yang duduk diatas batu besar.
Puluhan orang yang duduk didepannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian orang yang duduk di atas batu itu melanjutkan, "Hasil rampasan upeti sudah cukup untuk biaya bikin senjata. Kita harus melumpuhkan Tumapel dulu, karena Akuwu Tumapel Tunggul Ametung adalah orang kepercayaan Sri Baginda Kertajaya di Kediri. Tumapel kita kuasai, lantas gempur Kediri." Gemuruh sorak di lereng bukit malam itu. Namun seseorang nyeletuk, "Bagaimana kalau Mpu Gandring berkianat."
"Kita enyahkan," tegas orang yang duduk di atas batu. Kembali gemuruh sorak menggegana.
Pertemuan di lereng bukit itu bubar setelah seseorang memberikan bingkisan dari Dyah Umang kepada orang yang duduk di atas batu.
* * *
Bantuan dari ratusan padepokan di wilayah Tumapel, Kediri, Gelang-Gelang dan bahkan padepokan yang jauh dari kekuasaan kerajaan Kediri terus mengalir kepada Arok. Baik berupa bahan makanan maupun tenaga-tenaga muda. Kesemuanya itu karena rasa kebersamaan sesama.
Sementara Prabu Kertajaya sudah terlalu jauh melenceng dalam memimpin Kediri. Adi gung adi guna. Sapa sira sapa ingsun. Sewenang-wenang. Apalagi kini malahan mengusir para brahmana yang dicurigai dari wilayah Kediri.
* * *
"Arok, kini tibalah saatnya Hyang Ganesya mengangkat kedua tangannya, dan melepas Parasyu dan Aksamala," kata Mpu Lohgawe kepada Arok.
Arok membuka bingkisan dari Dyah Umang. Bingkisan itu berupa peta kekuatan Tumapel. Dan diberikannya pada Mpu Lohgawe.
"Siapa Dyah Umang, sampai-sampai mengetahui peta kekuatan prajurit Tumapel," tanya Mpu Lohgawe.
"Dyah Umang adalah sahabat tuan puteri Ken Dedes, permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Kini jadi penghubung kita Bapa Guru Lohgawe," suara Arok pelan.
Brahmana yang rambutnya sudah memutih semua mengangguk-anggukkan kepalanya.
* * *
Hari anggara dasih, tengah malam, para prajurit penjaga istana Tumapel sudah lelah. Dengan merambat, namun pasti, Arok, Tantra, Dyah Umang memimpin gerakan penyerangan diam-diam. Tanpa disadari penghuninya, istana Tumapel dikepung oleh pasukan Arok.
Udara semakin dingin malam itu. Tiba-tiba terdengar suara burung hantu memecahkan heningnya malam. Prajurit jaga sadar dan sigap, karena tahu suara burung itu bukan suara burung sebenarnya, tetapi suara burung jadi-jadian.
Artinya suara manusia menirukan suara burung sebagai suara sandi.
Tak lama kemudian, terjadilah apa yang dikawatirkan prajurit jaga. Gempuran mendadak dari segala penjuru menusuk lambung pertahanan istana Tumapel.
Senopati perang Tumapel Kebo Ijo gugur dalam mempertahankan Tumapel. Akuwu Tumapel Tunggul Ametung juga menghembuskan nafas terakhir oleh ujung keris Arok.
Tumapel Runtuh
Arok memperistri Dedes dan Dyah Umang.
Tahun 1222 Masehi. Arok memimpin Tumapel menyerbu Kediri. Raja Kediri Prabu Kertajaya terbunuh dalam pertempuran didesa Ganter, Pujon, Malang.
Kediri takluk atas Tumapel
Kota raja Kediri dipindah oleh Arok ke Singasari. Arok menjadi raja Singasari bergelar Sri Rangga Rajasa Amurwabumi.
S e l e s a i
Penulis: (Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya, Surabaya)