Muhammad Ikhsan : Praktis Hukum Kerinci |
Merdekapost.com | Kerinci, Beredarnya tudingan rasisme terhadap pidato politik H. Tafyani Kasim (HTK) baru-baru ini menuai respons dari Muhamad Ikhzan, seorang praktisi hukum. Ikhzan menyatakan bahwa pidato HTK dan juru kampanyenya adalah bentuk kritik yang konstruktif terhadap kebijakan dan bukan bermaksud memicu konflik atau perpecahan di masyarakat.
Menurut Ikhzan, pidato HTK didasarkan pada data dan fakta yang bertujuan mengungkap realitas secara terbuka sehingga dapat mendorong perbaikan ke depan. “Kritik yang membangun adalah kritik yang dapat dipertanggungjawabkan. Apa yang disampaikan HTK adalah kritik terhadap kebijakan, berdasarkan data dan fakta, dan diharapkan dapat memberikan solusi,” jelasnya.
Ikhzan menambahkan, kritik yang disampaikan HTK sejalan dengan visinya untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan berbasis digital, menjunjung tinggi supremasi hukum. Komitmen ini, menurutnya, menjadi salah satu bukti keberpihakan HTK terhadap prinsip keadilan dan transparansi sebagai calon pemimpin yang bertanggung jawab.
“Beredarnya narasi yang mengaitkan pidato HTK dengan rasisme adalah tidak benar. Kita harus bisa membedakan antara kritik kebijakan dan ujaran kebencian agar kita tidak salah dalam menilai,” tambah Ikhzan. Ia juga menekankan pentingnya demokrasi yang sehat, di mana kritik terhadap kebijakan berbasis data merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945, yang menjamin kebebasan berpendapat.
Ikhzan mengimbau agar dalam suasana kompetisi politik, semua kandidat mengedepankan adu ide dan gagasan demi pembangunan daerah, bukan dengan narasi yang berpotensi memecah belah masyarakat. “Jangan sampai pidato HTK yang dianggap rasis justru memicu perpecahan dan menyebabkan HTK menjadi korban tuduhan ujaran kebencian,” katanya, mengingatkan akan pentingnya perlindungan hukum yang sama di mata hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Ia juga menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya dalam Pasal 25 yang mengatur kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. (rdp)