Naskah Kuno Aksara Incung Terdapat di Desa Tanjung Tanah Kerinci

Aksara Incung

 Merdekapost.com | Kerinci - Naskah Kuno ini pada mulanya dipotret oleh seorang belanda di atas Jembatan pada saat Kenduri Sko di Desa Tanjung Tanah ditahun 1941 yang bernama Petrus Voorhoeve pada saat itu menjabat sebagai taalambtenar (pegawai bahasa dizaman kolonial) untuk wilayah Sumatra, Voorhoeve menyebutkan sebuah naskah daluang dari dusun Tanjung Tanah di mandapo Saliman (terletak sekitar 13 kilometer dari Kota, Sungai Penuh), yang pernah dilihatnya pada tanggal 9 April 1941.

Pada saat itu beliau sempat mengambil foto naskah tersebut namun mutu gambar kurang memuaskan“Keadaan di Tanjung Tanah, di atas jembatan beratap dikelilingi kerumunan orang enak dipandang, tetapi kurang sesuai untuk mengambil foto.

Naskahnya berupa“buku kecil yang dijilid dengan benang[…berisikan] dua halaman beraksara incung ,halaman-halaman lainnya beraksara Jawa Kuno. […] Teks naskah tersebut merupakan versi Malayu dari buku undang-undang Sarasamucchaya […] Sebagian besar teks terdiri atas daftar denda.

Saya ingat (Voorhoeve) dengan pasti bahwa nama Dharmasraya disebut dalam teks. Di tempat inilah didirikan patung Amoghapasa di tahun Saka 1208 (1286 M)” Voorhoeve pasti menyadari keistimewahan naskah yang ditemukannya, misalnya dengan menyebutnya ”jelas pra-Islam”) namun beliau tidak sampai pada sebuah kesimpulan, namun berikutnya naskah Kuno Tanjung Tanah ini diteliti ulang dan dialih bahasakan dengan melibatkan para pakar ahli bahasa kuno Oleh Prof. Dr, Uli Kozok

eks aksara incung dalam  naskah kuno Tanjung Tanah ditulis dengan menggunakan varian surat ulu yang teristimewa. bila dilihat dari segi hurufnya,lebih tua daripada semua naskah Kerinci yang selama ini diketahui. Aksara yang digunakan menyerupai surat incung Kerinci, tetapi jelas merupakan bentuk surat incung yang sangat lama. Surat ulu dalam naskah Kuno Tanjung Tanah dibahas oleh Uli Kozok berdasarkan tiga sumber utama :

Daftar aksara ulu yang disusun oleh Westenenk (1922)

Daftar surat ulu yang terdapat di 53 naskah rencong di Museum Negeri Bengkulu yang disusun oleh Nunuk Juli Astuti.

Bahan Uli Kozok sendiri  tentang pemetaan surat incung berdasarkan kira-kira 20 naskah Kerinci

Sebagian aksara surat ulu yang terdapat dinaskah kuno Tanjung Tanah hanya dapat dibaca bila dibandingkan dengan aksara surat ulu dari daerah lain. Aksara da, misalnya, mirip dengan aksara yang lazim ditemukan di Rejang dan di Serawai. Aksara nga juga sangat berbeda dengan incung Kerinci mau-pun rencong Bengkulu, dan menunjukkan persamaan dengan huruf nga yang di daftar Westenenk disebut sebagai “Rejang Lama”.Aksara ma di naskah kuno Tanjung Tanah persis sama dengan aksara ma yang digunakan diRejang, Lembak, dan Pasemah, tetapi berbeda dengan incung Kerinci.

Aksara wa terdapat empat kali dalam naskah kuno Tanjung Tanah. Dibaris 4, halaman 33, aksara tersebut sukar dibaca, dan juga di baris berikut bentuknya tidak jelas kelihatan, sementara di baris 8,halaman 34 tidak terbaca sama sekali. Aksara wa hanya jelas terlihat di baris 6 halaman 34.

Dalam surat incung Kerinci aksara wa ber-bentuk palang (w). Di Rejang, Lembak, dan Pasemah terdapat berbagai ragam aksara wa yang satu di antaranya mirip dengan aksara yang digunakan di naskah kuno Tanjung Tanah Varian w sangat mirip dengan bentuk huruf wa di naskah kuno Tanjung Tanah, tetapi bentuk yang ada di naskah kuno Tanjung Tanah sebetulnya merupakan kombinasi dari kedua huruf yang tersebut di atas.

Dasarnya adalah bentuk palang (+) yang pada varian w berubah men-jadi x. Garis miring yang ditambahkan pada sebelah kiri unsur x juga terdapat pada aksara yang ditemukan di naskah Tanjung Tanah,akan tetapi garis miring itu ditambah pada ujung atas garis vertikal unsur +. Huruf ca sangat berbeda dari semua varian yang lazim terdapat di Kerinci dan lebih menyerupai huruf ca rencong.

Demikian pula dengan aksara ja di naskah kuno Tanjung Tanah yang tidak ditemukan pada naskah Kerinci lainnya, tetapi mirip dengan surat rencong. Aksara sa di naskah kuno Tanjung Tanah erat berkaitan dengan Lebong Lama dan Rejang Lama di daftar Westenenk, tetapi juga ditemu-kan di dalam beberapa naskah yang kini disimpan di Museum Negeri Bengkulu.

Aksara ra di Kerinci biasanya terdiri atas dua unsur: Unsur pertama kelihatan seperti huruf v yang terbalik, di sampingnya unsur kedua yang kelihatan seperti huruf v biasa(lihat Tabel 2). Pada aksara rencong unsur kedua tergeser ke kiri sehingga bersatu dengan unsur pertama. Bentuk yang ditemu-kan di naskah Tanjung Tanah lebih mirip dengan aksara rencong, akan tetapi kedua unsur masih tetap terpisah. Di Kerinci terdapat sedikitnya satu naskah tanduk, dari Hiang Tinggi, yang menunjukkan bentuk yang sangat mirip, namun unsur kedua di sini terletak di bawah unsur pertama.

Di antara sandangan di naskah Tanjung Tanah terdapat dua yang tidak dapat ditemukan di Kerinci, yaitu tanda bunuh, dan a dengan i. Tanda bunuh yang digunakan dinaskah Tanjung Tanah berbeda sekali dengan sandangan yang sama di Kerinci, dan hanya menunjukkan persamaan dengan salah satudari tiga varian yang, menurut daftar Westenenk, terdapat di Lebong Lama dan di” Lampoengsch in Kroei” (aksara Lampung yang digunakan di Krui – bagian paling selatan provinsi Bengkulu yang berbatasan dengan Lampung).

Sandangan i di naskah Tanjung Tanah juga sangat istimewa, dan sama sekali tidak menunjukkan persamaan dengan surat incung maupun surat ulu lainnya. Di naskah TanjungTanah sandangan ini berupa lingkaran kecil yang ditempatkan di atas aksara, sementara dihampir semua varian surat ulu sandangan i berbentuk seperti huruf v yang terbalik.

Didaftar Westenenk ada varian yang berbentuk titik yang terletak di atas aksara agak ke kiri sedikit. Menurut Westenenk varian tersebut ditemukan di Rejang, Lembak, dan Serawai. Akan tetapi tiada satu pun naskah yang tersimpan di Museum Negeri Bengkulu yang menunjukkan bentuk titik sehingga dapat disimpulkan bahwa varian tersebut sangat jarang ditemukan.

Bentuk i yang terdapat dinaskah kuno Tanjung Tanah tidak merupakan titik,melainkan sebuah lingkaran besar yang berada di atas aksara atau malahan ke kanan sedikit. Bentuk seperti itu tidak dapat ditemu-kan dalam surat ulu apa pun, akan tetapi bentuk tersebut mengingatkan kita akan bentuk aksara i di teks pertama yang berupa lingkaranyang sedikit terbuka di bagian bawah. Letak-nya pun sama, yaitu di atas aksara, sebagaimana dapat dilihat di Tabel 3 yang menunjukkan posisi sandangan i terhadap aksara da dan sa. Bentuk sandangan i dengan lingkaran yang sedikit terbuka yang ditempat-kan di atas aksara, masih bertahan sampai sekarang di dalam aksara Jawa moderen.

Dengan demikian dapat disimpulkanbahwa bentuk sandangan i sebagaimana digu-nakan di teks 2 naskah kuno Tanjung Tanah meru-pakan bentuk kuno yang kini tidak ditemu-kan lagi, dan yang juga dengan jelas menunjukkan bahwa aksara surat ulu di dahulu kala lebih banyak menunjukkan persamaan dengan aksara pasca-Palawa.Sebagaimana dijelaskan di atas, teks surat ulu di naskah kuno Tanjung Tanah lebih banyak menunjukkan persamaan dengan rencong daripada incung Kerinci akan tetapi kalau kita perhatikan bentuk tanda bunuh dan sandang ini maka bentuk yang digunakan di naskah kuno Tanjung Tanah masih cukup berbeda dengan bentuk-bentuk yang lazim kita temukan diprovinsi Bengkulu. Oleh sebab itu Uli Kuzok  lebih cenderung menganggap tulisan aksara incung  yang ada di naskah kuno Tanjung Tanah sebagai tulisan yang lazim terdapat di Kerinci.

Namun mengingat kekunoan surat ulu di naskah Kuno Tanjung Tanah, Kalau memang benar bahwa pada saat teks surat ulu ditulis perbedaan antara varian-varian surat ulu belum begitu menon-jol, maka malahan dapat kita anggap teks surat ulu naskah Kuno Tanjung Tanah sebagai bentuk proto untuk varian-varian aksara di Kerin-ci, Lembak, Lebong, Pasemah, Rejang, dan Serawai. (*)

Melihat Sepintas Pemerintahan Lokal Kerinci Dalam Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah abad 13-14 M

 

Suhardiman Rusdi. Foto: 064

Oleh : Suhardiman Rusdi

Pengaruh klasik (Hindu-Budha) mulai memasuki wilayah Kerinci  dengan bukti temuan berupa naskah kuno yang berasal dari periode abad ke-13 14 M (Kozok, 2006). Naskah tersebut dikenal sebagai kitab naskah Undang-Undang Tanjung Tanah atau kitab Nitisarasmuscaya.  Naskah ini disimpan sebagai pusaka keramat oleh masyarakat adat di kampung Tua Tanjung Tanah, sekitar Danau Kerinci. 

Naskah yang telah diteliti oleh Kozok ini, diketahui ditulis pada media daluang dengan menggunakan aksara Sumatra kuno yang merupakan rumpun aksara pasca pallawa yang lazim pula disebut dengan aksara kawi serta dua halaman terakhir ditulis dengan aksara Kerinci yang disebut pula dengan surat incung (Kozok,2006). 

Kitab ini berisi undang-undang yang dirumuskan oleh para Dipati sebagai penguasa Kerinci bersama Maharaja Dharmasraya dan ditulis oleh Dipati Kuja Ali di sebuah Paseban yang berada di Bumi Palimbang ((Kozok, 2006; 2015).

 Selain menyebutkan tokoh bergelar Maharaja Dharmasraya, Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah (KUTT) menyebutkan nama tokoh kerajaan yang lain yaitu Paduka Sri Maharaja Karta-bhaisaj Seri Gandawangsa Pradhana Megat Prasena Karta-Bhaisa. 

Menurut Thomas M. Hunter, ke dua gelar ini merujuk kepada satu tokoh kerajaan Malayu yang memerintah dan menjadi aktor politik yang memprakarsai sidang mahamatya (great convocation) dengan para Dipati dari Kerinci  (Hunter,2015).

Lebih lanjut menurut Hunter, kemungkinan tokoh tersebut adalah pewaris dari Adityawarman yang bertahta di Pedalaman Minangkabau, Saruaso dan berkuasa hingga Dharmasraya .Dua gelar lain yang disebut dalam  adalah Sang Hyang Kema(i)ttan dan Dewam Sirsa Amaleswaram. Dua gelar ini adalah gelar pendewaan dari keluarga Kerajaan yang meninggal, kemungkinannya adalah penguasa pendahulu sebelum Paduka Sri Maharaja Karta-bhaisaj Seri Gandawangsa yakni Adityawarman (Hunter, 2015). 

Berikutnya Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah  memberikan informasi kepada kita bahwa pada abad ke 13-14 M di Kerinci, telah terbentuknya pemerintahan lokal yang mengatur masyarakat Kerinci.  Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah misalnya menyebutkan ‘.......pda mandalika di Bumi Kurinci silunjur Kurinci...’yang merujuk kepada seorang ‘gubernur’ yang berkuasa di Distrik bernama Bumi Kerinci yang menerima anugrah kerajaan (royal favour) berupa  Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. 

Di bawahnya terdapat pejabat-pejabat lokal lainnya seperti: 

(1) mahasenapati (panglima prajurit/commander-in-chief of army);

(2) prapatih (penasihat utama raja/foremost among principle advisors to a king or feudal lord);

(3) samegat (seorang dengan jabatan tinggi di lembaga peradilan/ person invested

with a high office or rank at court);

 (4) parabelang-balangan (para hulubalang)

Di samping itu, Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah  juga memuat informasi telah terbentuknya berbagai unit-unit wilayah (territorial) di Bumi Kerinci. Di mana Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah  menyebut berbagai istilah yang berkaitan dengan ruang hunian atau wilayah hunian seperti :

(1). saprakara disi, yaitu segala bentuk wilayah hunian;

(2). desa helat mahelat (perkampungan yang terpisah/perkampungan pendatang);

(3). desapradesa (perkampungan besar, supra-ordinate village);

(4).banwa sahaya (bagianperkampungan dari daerah bawahan).

Lebih lanjut, dijelaskan oleh Hunter bahwa pejabat-pejabat lokal yang berada di masing-masing unit wilayah tersebut dikuasai oleh seseorang bergelar Dipati sebagai pemilik utama otoritas politik di masing-masing wilayah Bumi silunjur Kerinci sebagaimana klausa dari Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah  yang berbunyi “...... jangan tida ida peda dipatinya s(a)urang-s(a)urang..”, yang diartikan bahwa para pejabat di perkampungan jangan tidak taat kepada dipatinya masing-masing . 

Informasi yang termuat di dalam Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yang berasal dari abad ke 13-14 M, paling tidak memberikan bukti yang sangat kuat bahwa di wilayah Kerinci saat itu, telah mempunyai struktur pembagian jabatan politik dan terdapat berbagai bentuk permukiman, yang dikuasai oleh seorang tokoh bergelar Dipati.

Bahan Bacaan : 

Tanah, kuasa dan niaga : Hafiful Hadi Sunliensyar

Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs