Ketua tim hukum TKN, Yusril Ihza Mahendra (tengah) saat konferensi pers terkait putusan MK. Foto: Jamal Ramadhan. (kumparan) |
Wacana penundaan kembali mencuat. Wacana ini kembali muncul ke permukaan setelah Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) meminta Pemilu 2024 ditunda satu hingga dua tahun dengan alasan pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Pakar Hukum Tata Negara, , mengungkapkan setidaknya hanya ada 3 cara yang dapat dilakukan untuk menunda Pemilu 2024. Yaitu dengan , Presiden Jokowi mengeluarkan Dekrit, dan menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
"Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir ada perubahan diam-diam terhadap konstitus melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Minggu (27/2).
Ia juga menjelaskan, dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan pemilu adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dengan cara melakukan amandemen UUD 1945. Jika hal ini dilakukan, Yusril mengatakan yang perlu diubah sebenarnya bukan mengubah pasal-pasal UUD 1945 yang ada sekarang secara harafiah, melainkan menambahkan pasal baru dalam UUD 1945 terkait dengan pemilihan umum.
"Pasal 22E UUD 1943 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22E ayat (7) yang berisi norma 'Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam, dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan pemilu sampai batas waktu tertentu'," jelasnya.
Menurutnya, dengan penambahan ayat dalam Pasal 22E UUD 1945, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan demikian, anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD berubah status menjadi anggota sementara sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu.
Sementara jalan kedua adalah Jokowi mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu. Meski Dekrit bisa saja dilakukan, namun Yusril ragu Jokowi berani mengeluarkan Dekrit seperti yang dilakukan Bung Karno pada 5 Juli 1959 dan Gus Dur pada 2001 lalu.
Baca:Gus Muhaimin Sebut Banyak yang Setuju Pemilu 2024 Ditunda
"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda pemilu dan memperpanjang jabatan semua penyelenggaraan negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 1945 harus diisi melalui pemilu? Dugaan saya Presiden Jokowi tidak akan melakukan itu. Risiko politiknya terlalu besar. Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan Polri juga belum tentu akan mendukung, meski keputusan itu adalah keputusan Presiden sebagai Panglima Tertinggi. Lantas seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi sendiri," tuturnya.
Sementara jalan ketiga adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention. Lewat langkah ini, perubahan tidak hanya dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 1945, melainkan dalam praktik penyelenggaraan negara.
"Dalam Pasal 22E UUD 1945 tegas diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan lagi," ujarnya.
"Kedua pasal ini tidak diubah, tetapi dalam praktik pemilunya dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun," lanjutnya.
Dalam sejarah Indonesia, Yusril mengatakan jalan ini sudah pernah ditempuh pemerintah usai Indonesia merdeka, tepatnya lewat Maklumat Wakil Presiden No X tanggal 16 Oktober 1945. Lewat Maklumat Nomor X itu, sistem presidensial berubah menjadi parlementer.
"Sekarang zaman sudah berubah. Rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi tahun 1945-1949. Ahli-ahli tambah banyak. Ada media sosial yang membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik, ada MK yang bisa menguji UU dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara. Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada 'penyelewengan' terhadap UUD 1945," ujarnya.
"Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," pungkasnya.(hza)
0 Comments:
Posting Komentar