Pengamat dan pemerhati Kota Sungai Penuh Riswanto Bakhtiar (kiri) dan Defitra Eka Jaya (kanan) |
Meskipun baru-baru ini sempat 'istirahata' tertunda sejenak karena semua energi dan upaya dikerahkan untuk penanganan wabah Corona, namun memasuki masa-masa new normal terutama pasca KPU mengumumkan Pilkada tetap dilaksanakan di Bulan Desember 2020, maka perlahan suhu politik mulai meningkat dan kembali menjadi topik utama perbincangan baik ditingkat elit maupun akar rumput.
Pantauan media ini, para kandidat masih belum terlihat memberikan sesuatu hal yang unik dan menarik, masih belum terlihat nyata dipermukaan dan masih seperti biasa-biasa saja. meskipun pertemuan dan komunikasi tingkat elit terus dan gencar dilakukan.
Fenomena lama dan gaya politik money politik masih menjadi salah satu 'penyakit' yang mewarnai Kota Sungai penuh, masih banyak yang beranggapan bahwa siapa yang paling banyak finansialnya itulah yang akan menjadi pemenang Pilkada, Namun yang pasti, moneypolitik tidak dibenarkan dalam penentuan pemimpin di Kota Sungai Penuh lima tahun yang akan datang.
Apapun alasannya moneypolitik tidak mencerminkan politik yang mencerdaskan. begitu juga dengan out put atau hasil dari Pilkada nanti, jika money politic yang ditonjolkan maka pemimpin Sungai Penuh kedepan diragukan komitmen dan keseriusannya untuk mmajukan dan membangun Kota Sungai Penuh. Meskipun begitu bukan berarti finansial tidak dibutuhkan dalam politik.
Defitra Eka Jaya (DEJ) tokoh muda Sungai Penuh sekaligus pengusaha sukses di Jakarta yang selama ini aktif dan peduli dengan Tanah kelahirannya, menyikapi ini menyebutkan, “Sebelum turun ke politik finansial itu salah satu faktor penting. Namun jangan jadikan uang sebagai variabel pertama dalam menentukan dan memilih pemimpin Kota Sungai Penuh lima tahun kedepan di ,”ungkapnya.
Lanjut DEJ, " 9 Desember 2020 nanti merupakan sebuah momentun bagi Kota Sungai Penuh",
"Artinya, Kota Sungai Penuh sudah memasuki Pilwako untuk ketiga kalinya. Dua periode hampir berlalu dan sudah bisa dievaluasi hasil usaha dan kerja pemimpin, apakah sudah membawa kearah maju atau sebaliknya,”kata DEJ.
Sekali lagi, lanjut DEJ, moneypolitik tidak dibenarkan hingga saat ini. “Apapun alasannya moneypolitik tidak dibenarkan dan tidak mencerminkan suatu kecerdasan. Saat ini masyarakat harus cerdas memilih pemimpin,”Cetusnya.
Sementara itu, menurut Riswanto Bakhtiar Pengamat Politik Universitas Eka Sakti Sumatera Barat mengungkapkan, bahwa money politik dalam undang-undang pemilu legislatif dan kepala daerah termasuk pelanggaran pidana Pemilu.
“Apalagi pada saat kampanye, menjanjikan dan memberikan sesuatu dalam bentuk barang atau uang yang tujuannya untuk mempengaruhi pemilih agar memilih calon tertentu dan terbukti berdasarkan pemeriksaan laporan oleh tim Gakumdu, maka bisa dilimpahkan kasusnya ke kejaksaan diteruskan ke pengadilan, dan itu seringkali terjadi pada Pilkada-pilkada sebelum ini”ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa, ketika tahapan Pilkada dimulai banyak sekali ditemukan adanya pelanggaran-pelanggaran, namun terkadang prosesnya tidak dilanjutkan ketingkat selanjutnya.
“Memang kita tidak bisa memungkiri bahwa politik uang itu ada dalam setiap pemilihan, baik pemilihan legisilatif maupun Kepala daerah, namun tidak banyak yang diteruskan ke tingkat peradilan karena lemahnya alat bukti dan saksi,”ujar Riswanto.
Ditegaskannya, Terkait politik uang, itu sangat merusak tatanan demokrasi serta memiliki potensi menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku.
“Politik uang ini sangat merusak demokrasi yang kita laksanakan, karena setiap calon harus menyiapkan dana yang banyak untuk bisa meraih suara. Akibatnya ketika mereka sudah berada pada kursi kekuasaan, banyak yang melakukan KKN guna mengembalikan modal yang sudah terlalu besar untuk mencalonkan diri,”sebutnya. (hza)
0 Comments:
Posting Komentar