Ada yang Lebih Penting Sebelum Buat Versi Baru Film G30S PKI



Peneliti dari Human Rights Working Group (HRWG) menyarankan pemerintah menyelesaikan pengungkapan kebenaran sejarah pasca peristiwa 1965 terlebih dahulu, sebelum membuat versi baru film Penumpasan Penghianatan G30S PKI.


Wacana yang dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuat ulang film Penumpasan Penghianatan G30S PKI mendapat respons beragam dari banyak pihak. Mereka umumnya tidak mempersoalkannya, tapi ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan dalam remake film yang digunakan rezim Orde Baru sebagai media propaganda itu.

Daniel Awigra, Program Manajer Advokasi HAM ASEAN dari Human Rights Working Group (HRWG) mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan pemerintah merevisi film yang memuat peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965. Namun, Daniel menekankan bahwa film yang diproduksi di era Orde Baru itu meninggalkan banyak problem. 

“Sudah banyak, katakanlah kritik yang mengatakan bahwa film itu [Penumpasan Penghianatan G30S PKI] dibuat sebagai alat propaganda Orde Baru,” kata Daniel di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta, Selasa (19/9/2017). 

Daniel menuturkan, saat itu penguasa Orde Baru berambisi menghabisi lawan-lawan politiknya, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI). “Tidak hanya anggota, tapi juga simpatisan tanpa diproses hukum pengadilan,” kata Daniel. 

Menurut Daniel, film baru soal G30S/PKI ini harus memuat kebenaran secara utuh. Pemerintah harus menampilkan fakta dari berbagai pihak, termasuk korban. Daniel berpendapat, warga yang menjadi korban diskriminasi dan trauma akibat dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme, juga perlu diungkap. 

Menurut Daniel, dalam versi baru film G30S PKI ini juga perlu mendengarkan respons tentang kudeta PKI, serta dugaan keterlibatan orang-orang yang menjadi bagian gerakan PKI, dan tindakan diskriminasi yang mereka alami selama ini. 

“Tugas pemerintahan Jokowi sekarang buat film yang pertama-tama harus diselesaikan pengungkapan kebenaran dulu. Pengungkapan kebenaran untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu ini yang pertama dilakukan,” kata Daniel. 

Daniel mengingatkan, pemutaran film lama tentang PKI ini bisa mempunyai dampak politik. Dalam hal ini, ia menilai pemerintah dalam posisi dilematis. Di satu sisi, kata Daniel, pemerintah bisa dicap pro-komunis apabila tidak menayangkan film tersebut, akan tetapi jika diputar kembali berarti pemerintah menyebar hoax. 

Ia juga tidak mempermasalahkan langkah yang diambil pemerintah untuk rekonsiliasi, dengan mediasi maupun hukum. Setelah semua selesai, baru pemerintah fokus pada pembuatan film baru. 

“Kalau buru-buru membuat film, kebenarannya sendiri belum terungkap, ini kan filmnya nanti jadi film apa?” kata Daniel. 

Hal senada diungkapkan peneliti Amnesty Internasional, Bramantya Basuki. Ia menilai, saat ini permasalahan yang harus diselesaikan terlebih dahulu bukan soal kehadiran film baru, melainkan pemerintah harus menguak kebenaran sejarah. 

“Ketika nanti di depannya apakah output-nya jadi semacam film dokumenter atau apapun, itu silakan kepada pemerintah. Tetapi proses untuk menuju pengungkapan kebenaran itu yang penting,” kata Bram di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta, Selasa. 

Bram mengingatkan, rencana pemutaran kembali film Penumpasan Penghianatan G30S PKI ini dapat menimbulkan dampak negatif. Bram menyatakan, hal tersebut bisa menimbulkan ketakutan baru, apalagi pasca aksi ricuh massa di YLBHI, Senin (18/9/2017) dini hari. 

Sementara itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu berharap, film baru soal G30S/PKI yang akan dikeluarkan pemerintah tidak berbentuk propaganda. Sebab Erasmus khawatir, dampak masa lalu justru akan muncul jika Pemerintah Jokowi sekadar membuat ulang video tersebut. 

“Kalau masih model propaganda Orba dampaknya pasti sama seperti dulu, persekusi dan stigmatisasi bisa terus terjadi,” kata Erasmus di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta. 

Erasmus mengatakan, ICJR mendukung pemerintah untuk membuat film baru yang memuat fakta dan pelurusan sejarah. Menurutnya pemerintah harus memaparkan apa maksud merevisi film yang diproduksi di era Orde Baru tersebut. 

“Kalau kita masih belum bisa menemukan konteks baru, menemukan fakta baru itu, maka saya rasa jadi pertanyaan balik, jadi yang dimau Presiden Jokowi itu apa?” kata Erasmus. 

Film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI adalah judul film dokudrama propaganda Indonesia pada 1984 yang disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer. Film ini diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp800 juta kala itu yang disponsori oleh rezim Orde Baru. 

Dalam laporan Antara, pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan film tersebut dihentikan peredaran dan pemutarannya karena berbau rekayasa sejarah dan mengultuskan seorang presiden. 

Setelah hampir 20  tahun tidak tayang, film G30S/PKI ini rencana akan diputar ulang pada 30 September 2017 mendatang. TNI AD telah mengirim surat edaran ke seluruh jajarannya untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. 

Menanggapi hal tersebut, Presiden Jokowi menyatakan menonton film tersebut adalah penting. Ia bahkan mengusulkan adanya pembuatan film dalam format yang baru agar anak generasi sekarang lebih mudah memahaminya. 

"Akan lebih baik kalau ada versi yang paling baru, agar lebih kekinian, bisa masuk ke generasi-generasi milenial,” kata Jokowi usai meresmikan Jembatan Gantung Mangunsuko, di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, (18/9/2017) siang, seperti dilansir setkab.go.id. 

Baca juga artikel terkait FILM G30SPKI atau tulisan menarik lainnya Andrian Pratama Taher (tirto.id - thr/abd)

Related Postss

0 Comments:

Posting Komentar

Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs